Tingginya Beban Hidup, Mematikan Fitrah Keibuan
Oleh : Hartati, S.Pd
Peristiwa yang mengiris hati kembali terjadi di negeri ini. Beberapa waktu lalu, seorang ibu berusia 38 tahun di desa Mambalong Kabupaten Belitung tega membunuh dan membuang bayinya yang lahir secara normal di kamar mandi. Perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh itu membunuh bayinya sendiri dengan cara menenggelamkannya ke ember berisi air setelah dilahirkan. Kemudian dibuang di semak belukar dalam kebun milik warga sekitar. Kejadian itu terjadi pada 18 Januari sekitar pukul 21 WIB. Motif dari tindakan mengerikan tersebut diduga terkait dengan faktor ekonomi (kumparan.com, 24/01/2024).
Miris, melihat seorang ibu tega membunuh bayi yang baru dilahirkan karena faktor ekonomi. Ini bukanlah kasus baru tetapi sudah berulang kali terjadi di negeri ini, tapi minim solusi. Lagi-lagi realita ini menunjukkan tingginya beban hidup telah mematikan fitrah keibuan seorang perempuan yang penuh kelembutan dan kasih sayang.
Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh seperti lemahnya ketahanan iman, tidak berfungsinya keluarga sehingga ibu terbebani pemenuhan ekonomi, lemahnya kepedulian masyarakat dan tidak adanya jaminan kesejahteraan negara atas rakyat, individu per individu. Semua faktor tersebut tentu berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan negara yaitu sisten kapitalisme yang telah memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme). Kehidupan manusia diatur dengan aturan buatan manusia. Maka, wajar lahirlah individu yang imannya lemah, masyarakat yang apatis serta negara yang mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat. Semua ini menjadi beban bagi para ibu ketika ingin membesarkan anak-anak mereka.
Jika sistem kapitalisme mematikan fitrah seorang ibu, maka tidak dengan sistem Islam. Sistem Islam justru akan merawat dan menjaga fitrah keibuan. Secara penampakan memang fitrah keibuan akan muncul pada individu perempuan. Jika fitrah ini terwujud secara optimal dalam diri perempuan, maka generasi pengisi peradaban akan terdidik dengan benar. Hanya saja perlu dipahami fitrah keibuan adalah perwujudan dari gharizah nau (naluri berkasih sayang) yang ada dalam setiap manusia.
Syaikh Taqiyuddin AnNabhani dalam Kitab Nizhamul Islam bab Thariqul Iman menjelaskan bahwa naluri akan bangkit ketika mendapat pemicu (rangsangan) dari luar. seorang ibu akan optimal dan tenang merawat anaknya, mengasuh anaknya, mendidik anaknya ketika mendapat jaminan kehidupan yang layak dan baik. Jaminan kehidupan terkait erat dengan kesejahteraan yang tidak mungkin diwujudkan oleh individu-individu namun butuh peran negara. Disinilah Islam mengatur agar negara menjadi support system bagi para ibu dan anak supaya mereka mendapat jaminan kesejahteraan tersebut.
Dalam Islam, jaminan kesejahteraan diwujudkan dari berbagai mekanisme baik jalur nafkah, lingkungan masyarakat dan santunan negara. Dari jalur nafkah, syariat menetapkan bahwa tanggung jawab penafkahan ada di pundak laki-laki. Allah swt berfirman yang artinya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf” (TQS. Al-Baqarah: 233).
Penafkahan berkaitan erat dengan pekerjaan. Dalam hal bekerja tidak cukup dari segi individu saja yang bersemangat namun juga harus ada lapangan pekerjaan. Maka Islam mewajibkan negara menjadi penanggung jawab agar lapangan pekerjaan tersedia dengan cukup dan memadai hingga tidak ada seorang laki-laki pun yang tidak bekerja.
Selain itu, Islam juga memerintahkan agar kehidupan bermasyarakat dilandasi oleh ikatan aqidah, dengan begitu aksi tolong-menolong antar masyarakat akan menjadi dukungan tersendiri bagi ibu untuk mengasuh anak-anak mereka. Semisal keluarga kaya membantu yang kekurangan, mensuasanakan kehidupan yang taat, dan berlomba-lomba untuk kebaikan, tidak dengki, tidak memamerkan kemewahan, dan amalan shaleh lainnya.
Seandainya pun seorang istri ditinggal oleh sang suami baik meninggal atau kehilangan kemampuan mencari nafkah, Islam juga memiliki mekanisme agar mereka tetap mendapat jaminan kesejahteraan. Jalur penafkahan akan beralih kepada saudaranya. Jika tidak memiliki saudara, tanggung jawab itu akan beralih kepada negara. Alokasi anggaran jaminan tersebut akan diambilkan dari Baitul Maal.
Tak hanya jaminan penafkahan, Islam mewajibkan negara menjamin harga-harga bahan pangan terjangkau oleh masyarakat. Dengan begitu para ibu dapat menyiapkan kebutuhan gizi anak-anak dan keluarganya dengan layak. Selain kebutuhan itu, Islam mengatur agar kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara secara mutlak. Rakyat mendapatkannya secara gratis dan berkualitas, karena semua kebutuhan dasar publik tersebut dibiayai oleh Baitul maal.
Dengan demikian jaminan kesejahteraan dapat dirasakan oleh individu per individu. Akhirnya para ibu bisa optimal mengasuh anak-anak mereka tanpa perlu khawatir terhadap masalah ekonomi. Inilah wujud sistem ekonomi dan politik dari negara yang diatur oleh Islam yakni khilafah. Negara yang menjalankan tugas sebagai raa’in (pengurus rakyat). Wallahua’lam Bisawab.
No comments: