Oleh : Masrurin, S.Sos
Dusun Sukodadi, Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ramai, lantaran ada aksi unjuk rasa menolak praktek tambang ilegal batu bara, Rabu (31/1/2024). Mereka para pengunjuk rasa sebagian besar dari kalangan perempuan, dari kaum ibu-ibu Spontan Sukodadi Tenggarong Kukar. Berjuang untuk memberantas tambang ilegal yang dianggap telah merugikan masyarakat.
Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari menyebutkan, seharusnya pemerintah kecamatan dan aparat penegak hukum bisa mengambil langkah tegas terhadap tambang batu bara tanpa izin. Karena itu jelas melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
“Aparatur pemerintah harus bertindak tegas, minimal memasang police line karena ini hal yang ilegal. Ini untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat,” sebutnya. Lebih lanjut, kata Mareta, masyarakat tidak perlu melapor terlebih dahulu untuk menangani perkara tersebut. Bahkan lembaga penegak hukum dapat langsung menindak tanpa perlu instruksi. (Kaltim Today, 2 Februari 2024)
Berikut ini 6 fakta rangkaian aksi protes warga Spontan Sukodadi Tenggarong atas tambang ilegal batu bara. Pertama tambang mulai mendekati hunian warga. Kedua, resapan air pertanian terancam. Ketiga, aliran air kering karena tambang illegal. Keempat, minta aparat untuk menghentikan. Kelima, menolak upaya mediasi. Keenam diberi waktu tutup lubang tambang.
Sementara, Camat Tenggarong, Sukono menambahkan, pihaknya melakukan negosiasi antara warga dan para penambang ilegal batu bara, Rabu (31/1/2024). Selama kesepakatan tersebut, pihaknya bersama Koramil dan Kapolsek Tenggarong akan melakukan pengawasan. Jika warga membuat laporan, tentunya kecamatan Tenggarong akan mengawal laporan masyarakat untuk mendapatkan kepastian yang jelas. (Tribun Kaltim.Co 1 Februari 2024)
Aksi unjuk rasa tolak tambang ilegal seharusnya segera disikapi pemerintah melalui aparat dengan tindakan tegas yakni menghentikannya. Tidak cukup sekedar mediasi. Seharusnya negara cepat menindak tambang ilegal jangan sampai menunggu aksi masyarakat.
Namun, negara terkesan lemah. Baik legal ataupun ilegal sama-sama penyumbang kerusakan lingkungan terbesar. Tambang legal dan ilegal ada karena sistem kapitalisme yang membebaskan kepemilikan individu. Penguasa pun berhutang dengan para kapital/ aktor utama penambang sehingga wajar terkesan melindungi.
Akar masalahnya adalah penerapan sistem kapitalisme. Negara memberikan kebebasan kepada individu atau sekelompok pemodal untuk akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Salah satunya adalah sumber daya alam. Eksistensi kelompok pemodal ini tidak hanya pada bidang ekonomi tapi juga pada ranah politik, sehingga mampu mengontrol kebijakan sesuai arah yang mereka inginkan, semata-mata untuk kepentingan mereka. Negara hanya berfungsi sebagai regulator sehingga kesengsaraan rakyat yang dibuat diabaikan.
Berbeda jauh dengan sistem Islam. Islam mengatur fungsi negara sebagai pengurus (raa’in) dan penjaga (Junnah) rakyat. Negara melindungi dan memastikan rakyat dapat kehidupan sejahtera. Kesejahteraan dalam Islam bukan mimpi, karena Islam telah memetakan bagaimana harta dunia yang berlimpah, yang telah Allah ciptakan diserahkan kepada manusia untuk memilikinya.
Kepemilikan dan pengelolaan SDA sesuai dengan syariat sehingga andai terjadi pertambangan maka akan sesuai kebutuhan bukan kerakusan, kerusakan lingkungan pun bisa diminimalisir. Hukuman dalam Islam pun tegas, apalagi jika ada aduan masyarakat yang merasa terganggu.
Dalam Islam, kekayaan alam termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah SW., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
Rasulullah SAW. juga bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yaitu air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola tambang garam. Rasul SAW. lalu meluluskan permintaan itu, tetapi seorang sahabat segera mengingatkan beliau SAW., “Wahai Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh, Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul SAW. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut darinya.” (HR At-Tirmidzi).
Mâu al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah SAW. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Namun, ketika kemudian beliau SAW. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—bagaikan air yang terus mengalir—beliau pun menarik kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut terkategori sebagai milik bersama (milik umum).
Atas dasar ini, negaralah yang berhak mengelola kepemilikan umum. Negara dapat melibatkan rakyat dengan status sebagai pekerja. Hasil dari pengelolaan SDA tersebut masuk ke baitulmal yang nantinya akan disalurkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat.
Begitulah bentuk pertanggungjawaban negara dalam mengelola kepemilikan umum. Sebagai pelayan rakyat, negara pula yang bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.
Inilah amanat syariat kepada para penguasa. Fakta ini tentu kontras dengan kondisi sekarang, regulasi ada, tetapi berpihak pada para konglomerat. Sementara itu, rakyat harus menjadi korban dari kebijakan yang tidak populer. Jika demikian adanya, masihkah mau bertahan dengan sistem sekuler ini yang berbeda dengan Islam?Allahua'lam bishshawab
No comments: