Pesta Demokrasi Berujung Gangguan Mental, Haruskah Terus Berulang?


Oleh: Mustika Lestari

(Pemerhati Masalah Sosial Politik)


Tinggal menghitung hari lagi negeri ini akan menggelar seremoni lima tahunan demokrasi, yaitu Pemilu tahun 2024. Pasca hari itu, tibalah penentuan dari hasil jerih payah para caleg (calon legislatif) dalam kontestasi. Hasil perolehan suara KPU akan menentukan siapa yang sukses menggapai impian indah menjadi wakil rakyat, dan siapa yang akhirnya gagal. Tidak bisa dimungkiri, mereka yang gagal tersebut rawan mengalami gangguan kejiwaan.

Menyikapi fenomena tersebut mengutip dari detik (26/1/2024), anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, dua hal itu sangat diperlukan. Pasalnya belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pascapemilu. Pemerintah Jakarta Pusat (Pemkot Jakpus) pun menyampaikan jika pihaknya telah menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan jiwa di Puskesmas dan rumah sakit.

Bukan rahasia lagi jika menjelang, saat, dan pasca Pemilu, kita kerap disuguhkan dengan fenomena memilukan sekaligus memalukan akan banyaknya kasus caleg mengalami gangguan mental karena gagal menduduki kursi jabatan. Bagaimana tidak setelah menghabiskan hartanya, berutang kemana-kemana karena biaya manggung dalam demokrasi yang mahal, ketika kemenangan tidak berpihak kepada para calon, terbayang tumpukan utang, pusing memikirkan cara pengembaliannya, akhirnya stres, depresi berat, hingga gila.

Jelas, hal tersebut sebagai imbas dari kesalahan cara pandang para elite ketika melibatkan diri dalam politik. Para politisi dalam sistem demokrasi memandang bahwa berkecimpung dalam politik semata-mata demi berebut kekuasaan, menumpuk kekayaan untuk memenuhi gaya hidup mewah. Maka wajar jika mereka rela menghabiskan hartanya untuk kampanye, dengan harapan akan berhasil menduduki jabatan legislatif dan utang-utang sebelumnya akan lunas.

Dengan cara pandang yang keliru demikian, ketika gagal ia kena mental. Sementara itu, mereka yang berhasil memenangkan kontestasi, celah penyalahgunaan jabatan sudah terbuka. Sebut saja niat memperbanyak harta secara instan, seperti tindak korupsi. Tujuannya tidak lain untuk mengembalikan dana kampanye. Rasanya tidak berlebihan jika publik memandang selama masa jabatan para politisi, tiga tahun dihabiskan untuk korupsi demi pengembalian dana kampanye, dan dua tahun berikutnya digunakan untuk mengumpul dana demi berebut kursi di pesta demokrasi berikutnya. Demikian seterusnya, sehingga para koruptor tidak pernah ada habisnya.

Inilah politik demokrasi yang berasaskan sekularisme. Orang-orang di dalamnya adalah mereka yang enggan melibatkan agama dalam aktivitas politik. Artinya, semuanya dilakukan untuk mendapatkan kepentingannya semata, demi menduduki kursi, tanpa peduli halal dan haram. Sistem paling buruk ini pun berbiaya super mahal, sehingga ajang Pemilu tidak bisa dilepaskan dari money politik yang kotor untuk menggaet suara rakyat. Fatalnya, setelah perhelatan pesta demokrasi, yang kalah menjadi gila, sementara yang menang abai terhadap janji manisnya ketika masa kampanye. 

Jika politik dalam sistem demokrasi hanya dijadikan sebagai wadah untuk memuluskan kepentingan para elite, penyumbang orang-orang gangguan mental di negeri ini, termasuk gagal menghasilkan wakil rakyat yang amanah, maka berbeda halnya dengan Islam yang memandang politik sebagai wadah untuk memelihara urusan umat. Mereka yang diberi amanah oleh rakyat untuk menjadi wakilnya di pemerintahan, bekerja untuk mengurusi kepentingan rakyat, menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, keamanan, dan kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. 

Dalam proses pengangkatan wakil rakyat dalam pemerintahan Islam, mereka yang disebut sebagai Majelis Umat anggotanya dipilih langsung oleh Majelis Wilayah. Majelis Wilayah dipilih langsung oleh rakyat, sehingga proses pemilihan dalam Islam cukup sekali. Tugas Majelis Umat tersebut adalah sebagai lembaga penyampai aspirasi rakyat dan pengoreksi penguasa jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan. 

Majelis umat tidak memiliki tugas dalam penganggaran sehingga tidak ada celah baginya menyalahgunakan anggaran negara, atau pun tidak bertugas untuk membuat hukum, sebab dalam Islam bagi masalah yang sudah jelas hukumnya, maka kepala negara yang menjabat hanya perlu melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh syariat. Sementara itu, apabila ada perkara-perkara baru yang belum pernah ada hukum yang mengaturnya, maka dilakukan ijtihad. Apabila didapati pendapat yang berbeda-beda, maka pemimpin negara akan mengadopsi hasil ijtihad yang dinilai paling kuat rujukan dalilnya. Sehingga pembuatan UU dalam Islam cepat dan murah, tanpa para kandidat harus stres dengan besarnya dana pencalonan atau mahar politik sebagai kompensasi kepada pihak-pihak yang terlibat, atau partai-partai pendukung sebagaimana sistem politik demokrasi. Ini menjadi salah satu mekanisme sistem Islam untuk mencegah terjadinya politik transaksional.

Di samping itu, mereka yang terlibat dalam politik adalah yang telah kokoh keimanannya kepada Allah SWT, sehingga motivasinya dalam berpolitik semata-mata untuk mengurusi kepentingan rakyat, bukan yang lain. Dan dari keimanan yang dimilikinya, terbentuk rasa ikhlas dalam dirinya bahwa jika Allah tidak menakdirkannya untuk menjadi wakil rakyat, ia akan senantiasa berbaik sangka kepada Allah bahwa apa yang terjadi kepadanya adalah cara Allah menyelamatkannya dari kemaksiatan yang bisa saja ia lakukan karena godaan kekuasaan.

Kontestasi dalam sistem politik Islam tidak memerlukan dana jumbo, bahkan seseorang yang layak menempati posisi sebagai wakil umat tanpa uang sepeserpun. Calon tersebut cukup memenuhi syarat muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan memiliki kapabilitas untuk mengurus seluruh urusan rakyat di bawahnya. Tidak perlu uang kampanye, uang baliho, dan seabrek kebutuhan dana lainnya. Demikian Islam akan menyelamatkan manusia dari fenomena caleg gila akibat politik layaknya demokrasi. Kini sudah saatnya mencampakkan demokrasi yang hanya menghasilkan banyak masalah dalam kehidupan manusia, dan beralih kepada sistem politik Islam yang mampu memuliakan kehidupan manusia. Wallahu a’lam bi showwab.

Pesta Demokrasi Berujung Gangguan Mental, Haruskah Terus Berulang? Pesta Demokrasi Berujung Gangguan Mental, Haruskah Terus Berulang? Reviewed by Admin on February 12, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.