Transformasi Kebijakan Kesehatan: Mandatory Spending Dari Naungan Ideologi Campuran Menuju Ideologi Kesehatan Yang Islami

Oleh: Ummu Hilmi


Setelah melewati polemik yang berkepanjangan, akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan beberapa waktu lalu telah disahkan dan menuai banyak kecaman serta kontroversi salah satunya adalah dihapuskannya Mandatory spending yaitu anggaran wajib yang harus dikeluarkan dari APBN untuk kesehatan di APBN akan dikeluarkan 5% dan dari APBD akan dikeluarkan sebesar 10%. Mayoritas fraksi menyetujui pengesahan tersebut, kecuali Partai NasDem yang menerima dengan catatan terkait mandatory spending, serta PKS dan Partai Demokrat yang menolaknya. Sebelumnya, penolakan terhadap RUU Kesehatan tersebut, salah satunya terkait dengan kebijakan penghilangan mandatory spending. Hal tersebut merupakan diantara bentuk kebijakan kesehatan yang dilatari oleh ketidakjelasan ideologi politik kesehatan Nasional, sehingga mengadopsi ideologi politik campuran.

Mandatory spending adalah belanja atau pengeluaran Negara yang sudah diatur oleh undang-undang, yang bertujuan untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah. Dalam bidang kesehatan, dalam pasal 171, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Penghilangan mandatory spending dalam UU Kesehatan yang baru, yakni UU No. 17 Tahun 2023 mengandung arti bahwa tidak ada lagi batasan wajib yang harus dipenuhi pemerintah untuk alokasi dana kesehatan. Keputusan ini diambil diantaranya karena sempitnya ruang fiskal dan fleksibilitas program, masih adanya korupsi dan mis alokasi anggaran kesehatan, dan perlunya efisiensi anggaran karena adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pemerintah juga akan menggunakan prinsip money follow program dalam penganggaran kesehatan, sehingga diasumsikan pemerintah dan Pemda tetap akan mengalokasikan anggaran yang mencukupi untuk kesehatan masyarakat. 

Pemerintah melalaui Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan juga beralasan bahwa dengan dihapuskannya mandatory spending, bukan berarti anggaran itu tidak ada, namun anggaran tersusun dengan rapi berdasarkan perencanaan yang jelas yang tertuang dalam rencana induk kesehatan. Dengan demikian, anggaran akan lebih efektif dan efisien karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan dicapai; semua tepat sasaran, tidak buang-buang anggaran. Penghapusan mandatory spending juga tidak ada kaitannya dengan Program Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS.

Berdasarkan hal ini, maka penganggaran kesehatan selanjutnya akan menggunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja dengan konsep money follow program. Pendekatan ini mengalokasikan anggaran kesehatan berbasis perencanaan kinerja tahunan secara terintegrasi yang menunjukkan hubungan antara tingkat pendanaan dan hasil yang diinginkan dari program tersebut, khususnya terhadap program kesehatan yang terkait langsung dengan prioritas daerah, serta memberi dampak langsung bagi masyarakat. Disamping itu, terkait upaya kesehatan perseorangan, didanai dengan anggaran Program JKN yang dikelola oleh BPJS kesehatan dengan sistem asuransi sosial, dimana uang yang dikelola merupakan iuran dari peserta BPJS Kesehatan. Dari sini nampak bahwa polemik tentang ada tidaknya mandatory spending bidang kesehatan lebih merupakan polemik penganggaran pada level strategis ketimbang ideologis. Sebab, pihak yang pro dan kontra secara umum hanya berdebat tentang anggaran kesehatan minimal yang wajib dianggarkan dalam struktur APBN dan APBD sebagai salah satu jenis anggaran bagi suatu upaya kesehatan; tanpa mempermasalahkan lagi soal anggaran upaya kesehatan perorangan yang dikelola oleh BPJS dalam Program JKN. 

Pengganggaran kesehatan sejatinya bukan soal berapa persen alokasinya, tetapi soal kecukupan anggaran untuk membiayai seluruh upaya kesehatan yang berkualitas; serta soal dari mana dan siapa yang bertanggung jawab membiayai anggaran kesehatan yang berkualitas tersebut. Inilah polemik yang termasuk dalam level ideologis. Sebaliknya, soal mandatory spending atau penganggaran berbasis kinerja dengan konsep money follow program hanya merupakan strategi penganggaran yang bisa diterapkan dalam lingkup ideologi politik kesehatan manapun, baik yang islami, kapitalis, maupun sosialis. Perbedaannya hanya terletak pada habitat ideologi politik kesehatan yang mana strategi tersebut bisa menjamin tingginya kualitas upaya kesehatan bagi rakyat.

Politik kesehatan adalah pengurusan urusan rakyat dalam bidang kesehatan dengan sudut pandang ideology tertentu. Oleh karena itu, akan sangat lazim jika suatu masyarakat, dalam penyelenggaraan sistem kesehatannya, didasari oleh ideology politik kesehatan tertentu, baik yang islami, kapitalis, maupun sosialis, atau campuran yang berasal dari ketiganya. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat tidak khas. 

Hal ini ditandai dengan keragaman kelompok politik dengan ideologi berbeda. Meski mengklaim tunduk pada ideologi yang satu, yaitu Pancasila, pada tingkat implementasi masing-masing kelompok pilitik berusaha menafsirkannya menurut mainstream pemikiran dalam ideologi mereka. Ini bisa dikatakan wajar, karena Pancasila merupakan set filosofi yang dibangun dari referensi ideologi yang berbeda-beda. Akibatnya, pada tingkat implementasi seringkali terjadi tergantung tafsiran penguasa. Tak terkecuali dalam bidang kesehatan, misal dalam kebijakan pembiayaan/pendanaan kesehatan. Untuk upaya kesehatan masyarakat, seperti program imunisasi, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, kesehatan lingkungan dan yang serupa, pembiayaannya ada dalam tanggung jawab Negara. Hal ini mirip dengan kebijakan di Negara-negara sosialis; sedangkan upaya kesehatan perseorangan pelan-pelan dialihkan ke masyarakat dalam berbagai skema, mulai Jamkesmas, Askes, hingga JKN pada saat ini. Ini mirip dengan kebijakan yang di Negara-negara Barat yang kapitalis. Selanjutnya, kebijakan kesehatan sangat tergantung dari kekuatan politik dominan yang menguasai Negara, baik kekuatan politik nasional maupun internasional yang mendiktenya.

Akibat dari ketidakkhasan ideologi politik kesehatan ini, maka masyarakat, organisasi profesi, para pejabat kesehatan, dan berbagai pihak, terbiasa berpolemik tentang kebijakan kesehatan dengan perspektif yang tidak khas. Berfikir atas dasar tradisi penyelenggaraan kesehatan yang sudah berlangsung lama, tanpa dilandasi oleh qaidah berfikir ideologis yang khas, sehingga terjebak dalam polemik pada level yang sebenarnya hanya bernilai strategis, dan bukan ideologis. Tak terkecuali tentang kebijakan mandatory spending. Lantang mengkritik lepas tangannya Negara dengan penghilangan mandatory spending bidang kesehatan sebesar 5% APBN dan 10% APBD, padahal hakikatnya hal itu hanyalah persoalan strategis belaka. Oleh karena itu, polemik diantaranya yang paling penting adalah disebabkan Negara hanya memiliki suatu set filosofi dan bukan ideologi. Ciri ideologisnya hanya dilengkapi dengan metode operasional yang dicomot sana-sini dari ideology yang berbeda-beda.

Berdasarkan pemahaman tentang ideologi campuran yang menyusun ideology kesehatan nasional Indonesia, jelaslah bahwa polemik tentang kebijakan mandatory spending disebabkan karena ketidakkhasan ideology politik kesehatan nasional. Oleh karena itu, diperlukan gerakan tranformasi kesehatan nasional, yang dimulai dari level ideologis hingga strategis dalam mendesain kebijakan kesehatan nasional. Gerakan ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; pertama, membangkitkan kembali kesadaran ideologis Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat.


Indonesia adalah negeri muslim terbesar, sangat potensial untuk menerima Islam sebagai landasan berfikir dan kepemimpinan berfikir mereka. Saat ini proses menuju hal tersebut sangat nyata sedang terjadi secara massif melalui aktifitas dakwah berbagai organisasi Islam ideologis. Lingkungan politik internasional juga sedang turut mengkondisikan proses tersebut. Kedua, mengkristalisasikan ideologi politik kesehatan yang Islami menjadi konvensi umum yang akan mengendalikan pemikiran, perasaan, dan UU kesehatan nasional.  

Disamping membangun kesadaran rakyat akan ideologi Islam, harus terus dilakukan upaya untuk mematangkan tsaqofah Islam terkait sistem kesehatan dan keluasan serta kedalaman pembahasannya, sehingga tampak bagi rakyat bahwa pemikiran politik kesehatan Islam memiliki kelengkapan dan kelayakan untuk menjadi ideology politik kesehatan yang dapat mereka jadikan sebagai konvensi umum dalam penyelenggaraan kesehatan nasional, mempengaruhi pikiran dan perasaan, dan sangat kaya untuk menjadi sistem dan undang-undang kesehatan nasional. Tentu saja tercapainya konvensi ini harus bersamaan dengan penerimaan rakyat terhadap tsaqofah Islam secara umum untuk mengendalikan pemikiran, perasaan, dan peraturan kolektif ditengah-tengah rakyat; dan penyerahan mandat kekuasaan dari rakyat untuk menegakkan sistem politik Islam.

Ketiga, mewujudkan kepemimpinan dan SDM Bidang Kesehatan yang kompeten dan bersyakhshiyah islamiyah. Pelaksanaan politik kesehatan Islam harus dipimpin oleh pejabat kesehatan dan didukung oleh SDM kesehatan yang bersyakhshiyah Islamiyah dan memiliki kompetensi dalam bidang mereka masing-masing. Dengan syakhshiyah islam, mereka akan terus menerapkan dan menjaga sistem kesehatan yang islami. Dengan kompetensi, mereka dapat memberikan pelayanan kesehatan pada rakyat dengan kualitas yang tinggi.

Adapun instrumen politik kesehatan islam lainnya secara menyeluruh dibutuhkan dalam menjalankan dan memberi suasana penerapan kebijakan kesehatan nasional sehingga betul-betul dapat mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi seluruh rakyat. Falsafah aktifitas dalam Islam, pandangan kesehatan sebagai kebutuhan asasi manusia secara kolektif, kesatuan pandangan tentang pelayanan kesehatan, sentralisasi kekuasaan dan desentralisasi administrasi, jaminan pemenuhan kebutuhan hidup oleh Negara, pandangan ekonomi Islam, serta administrasi yang sederhana, cepat dan akuntabel, semuanya akan turut mempertegas ketangguhan sistem kesehatan Islam. Sehingga, untuk memperbaiki hal tersebut diperlukan gerakan trasformasi kebijakan kesehatan nasional yang harus didahului dengan transformasi menuju ideologi Islam, kristalisasi politik kesehatan nasional yang Islami, mewujudkan kepemimpinan dan SDM kesehatan bersyakhshiyah Islam, menerapkan strategi penganggaran yang tepat yang kita yakini semua ini hanya akan terakomodir melalui sistem Islam. Wallohu ‘alam.

Transformasi Kebijakan Kesehatan: Mandatory Spending Dari Naungan Ideologi Campuran Menuju Ideologi Kesehatan Yang Islami Transformasi Kebijakan Kesehatan: Mandatory Spending Dari Naungan Ideologi Campuran Menuju Ideologi Kesehatan Yang Islami Reviewed by Admin on February 13, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.