Konflik Agraria Suatu Keniscayaan, Sistem Demokrasi Kapitalisme


Oleh: Feby Arfanti (Mahasiswa STAI Baubau) 

Akibat keserakahan pemerintah dalam menanam investasi di kalangan para investor merupakan salah satu indikator untama yang menjadikan ruang hidup  semakin sempit, sehingga menjadikan masyarakat semakin sengsara.

Bagaimana tidak, Rentetan konflik agraria tidak kunjung sirna. Kasus demi kasus bertambah, hingga menyebabkan masyarakat menjadi korban. Laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan pada rentang 2009—2022, ada 4.107 kasus konflik agraria yang melibatkan 2,25 juta kepala keluarga (Katadata, 12/1/2024).

Terlebih lagi, Perpres 78/2023, Presiden membuat penyesuaian dengan UU Cipta Kerja dengan menambah hak baru pada tanah negara, yaitu tanah dalam pengelolaan pemerintah. Presiden menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Pasal 4 huruf b Perpres 62/2018 memperlihatkan ketidakberpihakan negara pada rakyat di tengah meluasnya konflik agraria dengan ragam kompleksitas masalah. Perpres 78/2023 berpotensi mencerabut hak atas tanah rakyat.

Dalam konteks kepemilikan atas lahan, seolah semua tanah milik negara. Mirisnya pemerintah lah yang berada di balik layar para investor, sehingga rakyat yang terzalimi tidak bisa berbuat apa-apa atas tanahnya.

Inilah cerminan negara korporatokrasi. Negara pada kenyataannya menjadi alat kekuasaan untuk kepentingan para pemilik modal (korporasi). Negara lebih berpihak dan berpihak mengabdi pada kepentingan para pemilik modal.

Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang menumbuhsuburkan politik oligarki. Penguasa negeri ini seolah seperti boneka yang dikendalikan oleh para pemilik modal, ini menjadi bukti bahwa penguasa saat ini tidak memiliki kedaulatannya sebagai seorang pemimpin. Padahal seharusnya pemimpin adalah seseorang yang mampu membuat kebijakan yang adil dan bisa menyejahterakan seluruh rakyatnya, bukan hanya membuat kebijakan yang menguntungkan para kapitalis. 

Dalam hal ini saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang di mana kemimpinan nya di sebut dengan khilafah dan pemimpin nya di sebut dengan khalifah, sehingga mampu menyempurnakan  kesejahteraan kepada masyarakat termasuk masalah agraria.

Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas, dan menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya. Islam mewajibkan negara menghormati dan melindungi kepemilikan individu dan melarang negara semena-mena apalagi dikuasai oleh pengusaha.

Pada sektor kepemilikan, Islam mempunyai aturan jelas. Islam mengatur bahwa SDA yang menyangkut padang gembala, air dan api (minyak bumi dan gas alam) tidak boleh dikuasai individu. Atas dasar itu, khalifah tidak akan mengizinkan perorangan mengelola SDA demi keuntungan pribadi. Semua harta umum itu akan dikelola negara. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, ketika SDA itu jumlahnya sedikit, individu boleh mengelolanya.

Berkaitan dengan kepemilikan individu, negara melarang setiap orang melakukan tindakan sewenang-wenang seperti merebut hak milik atau merebut paksa tanah milik orang lain. Tidak hanya itu, negara juga akan memberikan tanah kepada rakyat ketika mereka bisa menghidupkan tanah tersebut.

Dengan demikian hanya dengan aturan Islam keadilan akan dapat dirasakan seluruh umat manusia, rakyat terjamin hak dan kebutuhannya sebab tugas penguasa adalah mengurusi urusan rakyat termasuk menjamin terlindungi nya ruang hidup rakyat.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Konflik Agraria Suatu Keniscayaan, Sistem Demokrasi Kapitalisme Konflik Agraria Suatu Keniscayaan, Sistem Demokrasi Kapitalisme Reviewed by Admin on February 14, 2024 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.