Oleh Dina Nurdiana
Salah satu jargon yang cukup terkenal dalam politik hari ini yaitu "Tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi". Hal tersebut bukan hanya sebatas jargon namun sebuah keniscayaan pada sistem yang diterapkan hari ini.
Dikutip dari cnbcindonesia (Jumat, 12/01/2024) menyatakan bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Temuan ini merupakan hasil dari pantauan Tim Khusus PPATK sejak awal tahun 2023 yang dipantau dari aliran International Fund Transfer Instruction Report dari perbankan.
Laporan ini juga menyebutkan bahwa diantara penerima aliran dana asing terdapat 100 orang dalam daftar calon tetap(DCT) pemilu. Sebagaimana hal ini dibuktikan dengan adanya temuan PPATK terkait adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024 sekitar 704 juta pembukaan rekening dan ini dilihat dari Custumer Identification Form (CIF).
Dari yang telah disebutkan di atas ini membuktikan bahwa aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan konstestasi pemilu hari ini berpotensi syarat akan kepentingan intervensi asing bahkan konflik kepentingan. Selain itu semua ini dapat diartikan bahwa pemilu butuh biaya yang sangat mahal sehingga para konstestan pemilu harus menggandeng investor demi memuluskan langkahnya dalam pemilu nanti.
Sudah kita ketahui bersama bahwa perhelatan akbar 5 tahunan ini hanya tinggal menghitung hari saja. Namun nyatanya menjelang perhelatan akbar 5 tahunan (pemilu) ini nyatanya masih banyak yang melakukan berbagai cara untuk memenangkan calon, termasuk kecurangan penguasa dalam mendukung salah satu pasangan dengan bantuan sosial atas nama negara.
Sebagaimana dilansir dari bbc (Selasa, 30/01/2024) menyatakan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut berbicara mengenai bansos yang makin sering diberikan oleh Presiden Joko Widodo belakangan ini. Dia mengatakan pemberian bansos merupakan instrumen yang sudah ada di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sudah disetujui oleh semua parpol di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Topeng Demokrasi
Dalam sistem politik demokrasi, pencitraan adalah hal yang utama. Mereka akan melakukan apa saja agar kekuasaan diraih. Maka sudah. Seharusnya umat mulai waspada terhadap bahaya dibalik pendanaan yang telah digelontorkan asing kepada para konstestan pemilu yakni akan tergadaikannya kedaulatan negara sehingga pemimpin yang terpilih tentu tidak akan mengurusi urusab umat melainkan memuluskan agenda-agenda ataupun kepengtingan pihak-pihak yang telah memberi pendanaan.
Namun perlu diketahui bahwa keadaan ini sejatinya sudah nampak, dimana umat bisa melihat sendiri arah pembangunan penguasa saat ini justru semakin memperbesar investor asing seperti Kereta Api Cepat, Proyek Rempang Ecocity dan infrastruktur-infrastruktur lainnya. UU Minerba pun semakin liberal yang semakin membuat para korporat swasta semakin ugal-ugalan mengeruk kekayaan negeri ini dan masih banyak kepentingan-kepentingan lainnya.
Tentu saja semua ini adalah suatu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi. Belum lagi legalisasi kepemimpinan dalam demokrasi berdasarkan suara mayoritas karena itu diperlukan dana yang besar untuk meraup suara dan inilah peluang yang dilirik dan dimanfaatkan para pemilik modal untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Kemudian setelah mengucurkan dana, mereka pasti menginginkan untuk mendapat bagian. Maka tidak heran jika partai politik dalam sistem demokrasi saat ini idealismenya rawan dibajak oleh pemilik modal. Sehingga siapapun yang terpilih dalam demokrasi hanya akan melahirkan penguasa Oligarki.
Politik dalam Kepemimpinan Islam
Tentu saja pemilu didalam sistem demokrasi berbeda dengan pemilu yang ada pada sistem khilafah. Adapun pemilu di dalam sistem Khilafah hanya dijadikan sebagai cara atau uslub bukan suatu metode (thariqoh) baku pengangkatan kepala negara. Di dalam islam metode pengangkatan kepala negara adalah dengan cara Bai'at dari Ahlul Hadu wal Aqdi yang sangat mudah. Selain itu untuk menjadi seorang pemimpin di dalam islam harus memenuhi 7 kriteria atau syarat yakni muslim, laki-laki, balig, merdeka, berakal, adil dan mampu.
Adapun proses pemilu pernah terjadi pada masa sahabat saat pengangkatan Ustman menjadi Khalifah (Kepala Negara). Ketika itu saat Umar bin Khatab tengah sakit keras akibat tikaman saat salat subuh, kamu muslimin meminta beliau untuk menunjuk orang sebagai penggantinya.
Akhirnya Umar merekomendasikan 6 orang sebagai penggantinya dan meminta kepada kaum muslimin untuk berdiskusi siapa yang paling layak menjadi penggantinya. Adapun ke enam orang tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awam, Sa'ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian diperkecil menjadi dua orang calon yaitu Ustman dan Ali. Kemudian Abdurahman bin Auf melibatkan pendapat umat dengan mendatangi rumah-rumah mereka untuk menanyakan pendapat mereka mengenai siapa yang paling layak untuk menjadi kepala negara berikutnya. Disinilah proses keterlibatan masyarakat dalam memilih calon kepala negara sehingga akhirnya Ustmanlah yang terpilih sebagak Kepala Negara (Khalifah) yang ketiga.
Jadi di dalam islam kepala negara dipilih bukan untuk menjalankan hukum manusia melainkan untuk menjalankan hukum Allah. Maka dari itu pemilu dalam khilafah hanya sebagai cara (uslub) saja bukan metode baku untuk memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat islam. Hal senada dengan proses pemilihan pemimpin di dalam islam pun akan berjalan dengan sederhana, hemat biaya, efektif dan tentunya efisien.
Wallahu'alam bishowwab
No comments: